Tuban Memuliakan Samudra: Sedekah Laut Karangsari, Perpaduan Syukur, Budaya, dan Solidaritas Islami

Penulis: Nur Afifah Rindiani

blokTuban.com - Masyarakat nelayan di Desa Karangsari, RT 002/RW 001, Kecamatan Tuban, Kabupaten Tuban, baru-baru ini menggelar puncak dari tradisi sakral tahunan mereka, yakni Sedekah Laut, Rabu (12/22/2025). Ritual turun-temurun ini bukan sekadar perayaan budaya, melainkan sebuah manifestasi mendalam dari rasa syukur kolektif atas limpahan rezeki, kesehatan, dan keselamatan yang telah diberikan oleh lautan utara Jawa.

Tradisi ini berakar kuat pada kepercayaan lokal dan spiritualitas Islam. Inti dari ritual ini adalah ungkapan terima kasih yang diwujudkan melalui persembahan kepada Allah SWT, sekaligus penghormatan kepada Ndayang, entitas spiritual yang diyakini sebagai penjaga Laut Utara.

Pelaksanaan Sedekah Laut Desa Karangsari adalah prosesi yang terstruktur selama tiga hari, sengaja dipilih saat air laut surut antara bulan Agustus hingga November untuk memastikan kelancaran.

Hari Pertama difokuskan pada Gotong Royong. Sekitar 50 hingga 100 warga, mulai dari nelayan, juragan kapal, hingga tokoh masyarakat, bahu-membahu membersihkan pantai, mengumpulkan bahan seperti kayu glugu untuk ajir, dan menyiapkan sesaji seperti tumpeng, bunga, dan ayam bakar. Semangat solidaritas sosial menjadi fondasi utama di tahap ini.

Hari Kedua memasuki aspek spiritual. Menjelang sore, nelayan berpengalaman memasang ajir (tiang pancang) di tengah laut, di mana Kepala Sapi yang telah dihias diletakkan di atas tiang. Kepala sapi ini adalah sesajen wajib, berfungsi sebagai persembahan utama kepada Ndayang, didoakan agar nelayan selalu diberi keselamatan dari badai dan kecelakaan. Malam harinya, warga berkumpul dalam acara Jagongan (Melekan), mempererat ikatan emosional dan berbagi cerita, menjaga semangat kebersamaan hingga pagi menjelang.

Hari Ketiga menjadi puncak ritual dengan acara Larung Sesaji pada pukul 07.00 pagi. Sesaji, termasuk tumpeng, bunga, dan Bekakak (replika perahu kecil), diarak di jalan dan dilanjutkan ke laut, kemudian dihanyutkan di tengah samudra. Miniatur perahu ini menyimbolkan armada nelayan Karangsari yang memohon berkah rezeki melimpah. Prosesi larung dilanjutkan dengan Makan Bersama empat tumpeng (satu untuk sesaji, tiga untuk konsumsi) yang telah didoakan, dan diakhiri dengan Orkesan sebagai ungkapan kegembiraan kolektif.

Tradisi Sedekah Laut ini sarat akan nilai-nilai luhur, terutama Nilai Syukur. Bagi masyarakat Karangsari, syukur adalah tindakan nyata. Hal ini terbukti dari:

Syukur Spiritual: Doa-doa yang dipanjatkan selama larung sesaji mencerminkan rasa terima kasih kepada Allah SWT atas karunia laut, sejalan dengan ajaran dalam QS. Ibrahim: 7 tentang janji penambahan nikmat bagi mereka yang bersyukur.

Syukur Sosial: Biaya pelaksanaan acara yang mencapai jutaan rupiah didanai secara kolektif melalui kiuran Rp300.000 per juragan nelayan. Inilah wujud nyata dari prinsip sedekah dan infaq, selaras dengan QS. Al-Baqarah: 267, yang mendorong umat untuk berbagi dari hasil usaha yang baik.

Lebih dari sekadar ritual, Sedekah Laut berperan krusial dalam pembangunan Kepedulian Sosial.
Gotong Royong mengajarkan inklusi sosial, di mana nelayan dengan kemampuan ekonomi berbeda tetap memiliki peran, baik melalui kontribusi finansial maupun tenaga.

Jagongan dan makan bersama berfungsi sebagai forum informal untuk memperkuat ikatan sosial, mendiskusikan masalah, dan memupuk empati, terutama terhadap keluarga nelayan yang rentan.

Selain itu, tradisi ini dilihat sebagai Pendidikan Islam non-formal yang holistik. Unsur-unsur seperti doa bersama, sedekah melalui kiuran, dan semangat kebersamaan mencerminkan prinsip Aqidah (keimanan), Akhlak (moral), dan Muamalah (sosial). Meskipun ada unsur kepercayaan lokal (Ndayang), praktik utama tetap berpusat pada tauhid, dengan doa keselamatan dan rezeki ditujukan kepada Allah SWT, menjadikan tradisi ini model pelestarian budaya yang adaptif dan relevan dengan ajaran agama.

Sedekah Laut Karangsari adalah cerminan hidup masyarakat pesisir yang memahami bahwa rezeki, keselamatan, dan kebahagiaan adalah anugerah yang harus dibalas dengan rasa syukur, kepedulian, dan pelestarian budaya secara berkelanjutan.